Peran Dalam Menciptakan Budaya Positif Di Sekolah Dengan Menerapkan Konsep-Konsep Inti Seperti Disiplin Positif, Motivasi Perilaku Manusia (Hukuman Dan Penghargaan), Posisi Kontrol Restitusi, Keyakinan Sekolah/Kelas, Segitiga Restitusi Dan Keterkaitannya Dengan Materi Sebelumnya Yaitu Filosofi Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara, Nilai Dan Peran Guru Penggerak, Serta Visi Guru Penggerak
Dalam filosofi pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara, Guru diibaratkan seorang petani atau tukang kebun yang sedang merawat tanaman. Guru harus menyiapkan segala sesuatunya sehingga tanaman dapat tumbuh dengan subur dan menghasilkan buah yang berkualitas. Murid dianalogikan sebagai tanaman, dimana ia sudah memiliki berbagai potensi yang wajib diasah dan dikembangkan. Dengan demikian, mereka akan dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan sesuai dengan kodratnya.
Dalam mendidik murid, seorang guru wajib memiliki nilai-nilai seorang guru penggerak seperti berpihak pada murid, kolaboratif, inovatif, mandiri, dan reflektif. Dengan nilai-nilai tersebut, seorang guru akan dapat melakukan perannya sebagai seorang guru penggerak. Peran guru penggerak antara lain:
- Pemimpin pembelajaran
- Coach bagi guru lainnya
- Mewujudkan kepemimpinan murid
- Pendorong kolaborasi
- Penggerak komunitas praktisi
Supaya peran-peran guru penggerak tersebut dapat dijalankan dengan maksimal, maka seorang guru wajib memiliki visi. Visi yang merupakan gambaran impian atau tujuan yang ingin dicapai ini akan menjadi pengarah sekaligus pegangan dalam menyelenggarakan segala aktivitas yang mampu mewujudkan visi yang telah dicanangkan. Untuk memudahkan dalam mewujudkan visi dan melakukan rencana perubahan, guru dapat menggunakan tahapan BAGJA, yaitu: Buat pertanyaan, Ambil Pelajaran, Gali mimpi, Jabarkan rencana, dan Atur eksekusi.
Transformasi atau rencana perubahan ini tentunya harus mengarah pada terciptanya budaya positif di sekolah. Budaya positif akan mendorong terciptanya lingkungan yang menerapkan disiplin positif. Baik guru maupun murid memiliki motivasi intrinsik untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dengan cara-cara baik yang selaras dengan profil pelajar Pancasila. Guru juga mampu memahami lima fungsi kontrol atau peran among dengan baik sehingga mampu menjalankan peran among sebagai seorang manager yang selalu menerapkan segitiga restitusi dalam menumbuhkan budaya positif di sekolah.
Refleksi Pemahaman Atas Keseluruhan Materi Modul Budaya Positif
Disiplin Positif
Selama ini kata disiplin seringkali hanya dimaknai sebagai sesuatu yang dilakukan seseorang pada orang lain untuk mendapatkan kepatuhan dan memiliki kecenderungan ketidaknyamanan serta sering dihubungkan dengan tata tertib yang berkaitan dengan sanksi dan hukuman bagi yang melanggarnya.
Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia, menyatakan bahwa untuk mewujudkan murid yang merdeka, murid harus mempunyai kedisiplinan kuat yang berasal dari dalam dirinya sendiri. Jika dirinya tidak mampu, maka dibutuhkan kekuatan yang berasal dari luar dirinya. Pernyataan tersebut termaktub dalam bukunya yang bertajuk Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka. Pada halaman 470, dapat dibaca pernyataan yang berbunyi:
“dimana ada kemerdekaan, disitulah harus ada disiplin yang kuat. Sungguhpun disiplin itu bersifat ”self discipline” yaitu kita sendiri yang mewajibkan kita dengan sekeras-kerasnya, tetapi itu sama saja; sebab jikalau kita tidak cakap melakukan self discipline, wajiblah penguasa lain mendisiplin diri kita. Dan peraturan demikian itulah harus ada di dalam suasana yang merdeka
Kata ‘merdeka’ menurut Ki Hadjar diartikan sebagai mardika iku jarwanya, nora mung lepasing pangreh, nging uga kuwat kuwasa amandiri priyangga (merdeka itu artinya; tidak hanya terlepas dari perintah; akan tetapi juga cakap buat memerintah diri sendiri).
Hal senada juga diungkapkan oleh Diane Gossen dalam bukunya Restructuring School Discipline, 2001. Gossen menyatakan bahwa arti asli dari kata disiplin ini juga berkonotasi dengan disiplin diri dari murid-murid yang dapat membuat seseorang menggali potensinya menuju kepada sebuah tujuan, sesuatu yang dihargai dan bermakna. bagaimana cara kita mengontrol diri, dan bagaimana menguasai diri untuk memilih tindakan yang mengacu pada nilai-nilai yang kita hargai. Dengan kata lain, seseorang yang memiliki disiplin diri berarti mereka bisa bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya karena mereka mendasarkan tindakan mereka pada nilai-nilai kebajikan universal.
Dari pendapat Ki Hadjar Dewantara dan Diane Gossen, dapat diambil kesimpulan bahwa murid yang memiliki disiplin positif akan memiliki motivasi internal atau motivasi intrinsik yang tinggi dalam menguasai diri untuk melakukan tindakan yang sesuai dengan nilai-nilai kebajikan universal. Sebagai pendidik, guru bertugas untuk membimbing murid-muridnya supaya memiliki disiplin diri yang berasal dari dirinya sendiri.
Motivasi Perilaku Manusia dan LIma Kebutuhan Dasar Manusia
Setiap manusia pasti memiliki motivasi dalam berperilaku atau melakukan tindakan, begitu pula dengan murid di sekolah. Diane Gossen, dalam bukunya Restructuring School Discipline,
menyatakan ada 3 alasan motivasi perilaku manusia yaitu:
- Untuk menghindari ketidaknyamanan atau hukuman
- Untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain.
- Untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya
Motivasi perilaku manusia yang nomor tiga di atas diharapkan dapat dimiliki oleh semua murid sehingga dapat terwujud disiplin positif yang berasal dari motivasi intrinsik yang dapat membawa dampak jangka panjang. Jadi tindakan dan perilakunya tidak semata-mata karena takut akan adanya hukuman atau ingin mendapatkan hadiah. Murid menyadari bahwa berperilaku baik harus dilakukan dengan berlandaskan nilai-nilai kebajikan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Motivasi dalam bertindak dan berperilaku juga biasanya bergantung pada kebutuhan dasar manusia yang ingin dicapai. Ada lima kebutuhan dasar manusia, yaitu: kebutuhan untuk bertahan hidup (survival), cinta dan kasih sayang (love and belonging), kebebasan (freedom), kesenangan (fun), dan kekuasaan (power). Ketika seseorang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kebajikan atau melanggar peraturan, hal itu pada dasarnya dikarenakan ada kebutuhan dasar yang belum terpenuhi.
Kebutuhan Bertahan Hidup (survival)
Adalah kebutuhan yang bersifat fisiologis untuk bertahan hidup misalnya kesehatan, rumah, dan makanan. Seks sebagai bagian dari proses reproduksi termasuk kebutuhan untuk tetap bertahan hidup. Komponen psikologis pada kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan perasaan aman.
Kasih sayang dan Perasaan Diterima (Love)
Kebutuhan yang kedua dan kebutuhan berikutnya merupakan kebutuhan psikologis. Kebutuhan untuk mencintai, dicintai, dan kebutuhan akan hubungan dan koneksi sosial, kebutuhan untuk memberi dan menerima kasih sayang dan kebutuhan untuk merasa menjadi bagian dari suatu kelompok. Kebutuhan yang satu ini meliputi keinginan untuk tetap terhubung dengan orang lain, seperti teman, keluarga, pasangan hidup, teman kerja, binatang peliharaan, dan kelompok dimana kita tergabung. Anak-anak yang memiliki kebutuhan dasar cinta dan kasih sayang yang tinggi biasanya ingin disukai dan diterima oleh lingkungannya.
Penguasaan (Kebutuhan Pengakuan atas Kemampuan)/ Power
Kebutuhan yang nomor empat ini berhubungan dengan kekuatan untuk mencapai sesuatu, menjadi kompeten, menjadi terampil, diakui atas prestasi dan keterampilannya, didengarkan dan rasa memiliki harga diri. Kebutuhan ini biasanya meliputi keinginan untuk dianggap berharga, bisa membuat perbedaan, bisa membuat pencapaian, kompeten, diakui, dihormati. Hal ini juga meliputi self esteem dan keinginan untuk meninggalkan pengaruh bagi orang lain. Anak-anak yang memiliki kebutuhan dasar akan kekuasaan yang tinggi biasanya selalu ingin menjadi pemimpin. Anak-anak ini juga suka mengamati sebelum mencoba hal baru dan merasa kecewa bila melakukan kesalahan.
Kebebasan/ Freedom (Kebutuhan Akan Pilihan)
Kebutuhan untuk bebas adalah kebutuhan akan kemandirian, otonomi, dan memiliki pilihan untuk melakukan hal yang disukai. Anak-anak dengan kebutuhan kebebasan yang tinggi biasanya menginginkan pilihan. Mereka memiliki kebutuhan untuk bergerak, dan suka mencoba-coba hal-hal baru.
Kesenangan/fun
Kebutuhan yang terakhir adalah kebutuhan akan kesenangan atau fun adalah kebutuhan untuk mencari kesenangan, bermain, dan tertawa. Anak-anak dengan kebutuhan dasar kesenangan yang tinggi biasanya ingin melakukan sesuatu. Saat mengerjakan hal yang disenangi, mereka akan memiliki konsentrasi yang tinggi . Oleh karena itu, jika guru mengajar dengan membosankan, maka anak dengan kebutuhan akan kesenangan akan terlihat malas, ogah-ogahan dalam belajar, atau sebaliknya berbuat iseng atau jahil kepada teman-teman atau benda di sekitarnya.
Keyakinan Kelas
Salah satu upaya dalam menciptakan dan menanamkan budaya positif di sekolah adalah dengan membuat keyakinan kelas. Hal ini perlu dipahami dan disepakati oleh semua pihak baik murid maupun guru. Semua harus menyadari bahwa keyakinan-keyakinan atau prinsip-prinsip dasar yang telah dibuat dan disepakati bersama di antara para warga kelas untuk mendapatkan nilai-nilai kebajikan yang disepakati bersama.
Apa bedanya keyakinan kelas dan peraturan kelas? Keyakinan kelas lebih menekankan pada nilai-nilai kebajikan yang harus ditaati bersama-sama, baik guru maupun murid. Sedangkan peraturan lebih cenderung pada daftar apa yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan dimana sangat berpotensi dalam membuat murid merasa tidak nyaman karena seolah-olah objeknya hanya mereka saja. Keyakinan akan lebih memotivasi seseorang dari dalam, atau memotivasi secara intrinsik. Semua pihak akan lebih tergerak dan bersemangat untuk menjalankan keyakinannya, daripada hanya sekedar mengikuti serangkaian peraturan yang mengatur mereka harus berlaku begini atau begitu yang membuat ketidaknyamanan dan keterpaksaan.
Posisi Kontrol Dan Segitiga Restitusi
Terdapat 5 posisi kontrol yang dapat diterapkan oleh guru dan juga orang tua dalam menanamkan budaya positif. Kelima posisi kontrol tersebut antara lain
- Penghukum
Ketika guru mengambil posisi sebagai penghukum, biasanya menggunakan hukuman fisik maupun verbal. Ciri-ciri seorang penghukum antara lain: komunikasi berjalan 1 arah, hukuman yang diberikan tidak disepakati sebelumnya atau bersifat spontanitas. Posisi ini memiliki banyak kelemahan seperti membuat anak merasa tidak nyaman atau bahkan sakit hati dalam waktu yang lama. Seorang penghukum berpikiran bahwa satu-satunya yang dapat menegakkan peraturan atau sistem adalah dirinya. Tidak jarang ditemui guru yang mengambil peran sebagai penghukum menggunakan nada suara tinggi alias berteriak.
- Pembuat Orang Merasa Bersalah
Berbeda dengan penghukum, pembuat merasa bersalah cenderung menggunakan nada suara yang lembut. Kata-kata yang sering digunakan misalnya “kamu tidak kasihan dengan ibu? Ibu sudah capek mengajar kamu, lho!” Ketika guru mengambil posisi kontrol sebagai pembuat merasa bersalah, dampak yang dapat ditimbulkan adalah anak akan merasa kecewa dengan dirinya sendiri, merasa tidak berharga, dan memiliki penilaian yang buruk tentang dirinya sendiri.
- Teman
Guru yang mengambil posisi kontrol sebagai teman cenderung melakukan upaya kontrol dengan cara yang persuasif. Posisi kontrol ini memiliki sisi positif dan negatif. Sisi positifnya adalah membangun kedekatan dengan murid sehingga murid akan cenderung patuh dan menurut. Sedangkan sisi negatifnya adalah murid bisa-bisa memiliki ketergantungan dengan guru tersebut. Murid hanya akan menurut kepada guru yang dianggap sebagai “teman” sehingga jika merasa kecewa atau tidak menyukai guru tersebut, maka murid akan berhenti berusaha.
- Pemantau
Pemantau atau pengawas biasanya bertindak berdasarkan peraturan-peraturan dan konsekuensi yang telah ditetapkan. Posisi kontrol ini sangat mengandalkan penghitungan, catatan, data yang dapat digunakan sebagai bukti atas perilaku seseorang. Pertanyaan yang sering diajukan antara lain “Peraturannya apa?” “Apa yang telah kamu lakukan?” “Sanksi atau konsekuensinya apa?” posisi kontrol ini berawal dari teori stimulus-respon yang menunjukkan tanggung jawab dalam mengontrol murid.
- Manajer.
Posisi kontrol yang kelima adalah manajer. Posisi kontrol sebagai seorang manajer merupakan posisi yang paling ideal untuk dilakukan. Pada posisi ini, guru akan berbuat sesuatu bersama dengan murid untuk menyelesaikan masalah, mempersilakan murid mempertanggungjawabkan perilakunya, dan mendukung murid agar dapat menemukan solusi atas permasalahannya sendiri. Seorang manajer tidak akan menyalahkan murid dengan serta merta. Sebaliknya ia akan memberi kesempatan murid menganalisis kesalahan yang dibuat dan bagaimana mencari solusi dengan melakukan segitiga restitusi.
SEGITIGA RESTITUSI
Restitusi adalah sebuah cara menanamkan disiplin positif pada murid. Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004). Restitusi juga merupakan sebuah proses kolaboratif yang mengajarkan murid untuk mencari solusi untuk masalah, dan membantu murid berpikir tentang orang seperti apa yang mereka inginkan, dan bagaimana mereka harus memperlakukan orang lain (Chelsom Gossen, 1996). Restitusi dapat membantu murid menjadi lebih memiliki tujuan, disiplin positif, dan memulihkan dirinya setelah berbuat salah. Penekanan pada segitiga bukan pada bagaimana berperilaku untuk menyenangkan orang lain atau menghindari ketidaknyamanan, namun tujuannya adalah menjadi orang yang menghargai nilai-nilai kebajikan yang mereka percayai. Tiga tahap dari segitiga restitusi adalah menstabilkan identitas, validasi kesalahan, dan menanyakan keyakinan. Dengan segitiga restitusi diharapkan akan muncul motivasi intrinsik dari siswa dalam melakukan kebaikan.
Refleksi Diri CGP
Hal menarik setelah mempelajari konsep tentang disiplin positif, teori kontrol, teori motivasi, hukuman dan penghargaan, posisi kontrol guru, kebutuhan dasar manusia, keyakinan kelas, dan segitiga restitusi adalah lima posisi kontrol. Sebelumnya saya sebagai guru ketika melakukan tindakan untuk menumbuhkan budaya positif tidak pernah menamai posisi apa yang saya ambil. Hal ini mengurangi awareness tentang dampak lain yang mungkin timbul dari sisi murid.
Perubahan cara berpikir saya dalam menciptakan budaya positif di kelas maupun sekolah setelah mempelajari modul ini antara lain saya akan berusaha semaksimal mungkin menerapkan posisi kontrol sebagai manajer. Saya akan menerapkan segitiga restitusi dalam menanamkan budaya positif. Sebelumnya saya lebih banyak mengambil peran sebagai teman dan juga seorang pemantau. Sesekali saya juga pernah menjadi pembuat merasa bersalah. Hal ini sungguh disesalkan. Jika saja segitiga restitusi telah diterapkan dengan baik tentu saja akan berdampak lebih baik lagi.
Demikianlah refleksi sekaligus koneksi antar materi dari modul 1 pada pendidikan Guru Penggerak angkatan 6 ini. Semoga membuat saya menjadi seorang guru yang lebih baik lagi dan juga dapat memberikan inspirasi bagi guru lain yang membaca tulisan ini.
Rancangan Tindakan Aksi Nyata 1.4
Judul Modul : Budaya Positif
Nama Peserta : Nita Oktifa, S.Pd